banner 728x250

Berpotensi Menambah Kebijakan Diskriminatif Berbasis Gender, Komnas Perempuan Sikapi Pembahasan RUU Penyiaran

banner 120x600
banner 468x60

PAPINKAPOST.ID

JAKRTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuaan) menyikapi pembahasan Rancangan Undang-undang RUU Penyiaran yang sedang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).

banner 325x300

Tak hanya mengancam kebebasan Pers, RUU Penyiaran juga berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas lainnya dan masyarakat yang memiliki kerentanan menjadi korban kekerasan berbasis gender.

RUU Penyiaran juga menghalangi kebebasan berekspresi dan mengandung makna yang ambigu, serta rentan mengkriminalisasi pendapat dan ekspresi perempuan dan Perempuan Pembela HAM.

Dikatakan Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, isi dan konten siaran yang mengandung kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan – sebagaimana tertera pada RUU Penyiaran – bisa memunculkan standar ganda dan akan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat. Terutama Perempuan yang dalam masyarakat patriarki dikonstruksikan sebagai “penjaga moral”.

“Ketentuan ini memperkecil ruang demokrasi dan diskriminatif terhadap kelompok rentan yang kontradiktif dengan semangat untuk melindungi kelompok rentan,” jelas Veryanto Sitohang, dalam rilis pers Komnas Perempuan, Senin (27/5/24) siang.

“Soal sejauh mana aturan ini menjangkau platform digital, ini juga bisa berpeluang mengkriminalisasi Perempuan Pembela HAM atau akun-akun lembaga layanan/pendamping atau influencer kritis atau  content creator, yang mengekspresikan pendapatnya terkait isu HAM dan hak asasi perempuan di platform Youtube atau media sosial lainnya?,” terang dia.

Senada, Komisioner Rainy M Hutabarat, mengatakan jika ketentuan pasal 50 Ayat (2) yang mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi juga bertentangan dengan prinsip jurnalistik universal dan berpotensi mengancam penegakan hukum.

“Jurnalistik investigasi penting dalam proses pengungkapan kasus-kasus yang merugikan negara dan penghapusan tindak kekerasan, penyiksaan berbasis gender maupun berbasis lainnya, serta  mengkritik kebijakan negara. Rancangan aturan ini dapat menghambat  akses para korban atas keadilan,” tegasnya.

“Komnas Perempuan menyesalkan adanya pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang  mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan bagian dasar dari negara yang demokrasi,” lanjutnya.

Ditambahkan Rainy, Komnas Perempuan merekomendasikan penundaan pembahasan Revisi UU Penyiaran ini untuk memastikan tidak bersifat diskriminatif dan membuka ruang partisipasi publik yang bermakna.

Sementara itu, Siti Aminah Tardi yang juga komisioner Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI menunda pembahasan RUU Penyiaran dan memastikan RUU Penyiaran tidak mengandung muatan diskriminasi.

Juga membuka ruang partisipasi publik secara bermakna dan luas dengan membuka dialog, mempertimbangkan masukan-masukan Kementerian/Lembaga negara termasuk lembaga negara hak asasi manusia, media massa  dan masyarakat sipil lainnya.

“Dari pantauan legislasi di laman DPR RI, RUU ini sudah diusulkan dari tahun 2020 yang kemudian tidak ada perkembangannya. Baru muncul kembali pada 2024 ini. Saat ini prosesnya baru pada tahap penyusunan di Baleg DPR RI belum menjadi usul inisiatif DPR RI, apalagi pembahasan tingkat I. Proses pembentukannya harus tetap sesuai tahapan,” jelas Siti.

“Dan alasan mengejar tenggat waktu tidak boleh melanggar setiap tahapan dengan menjadikan prosesnya tertutup serta tidak membuka partisipasi publik, termasuk meminggirkan kepentingan perempuan,” tutup dia, mengingatkan pentingnya partisipasi perempuan.

Untuk diketahui, Komnas Perempuan, mencatat kerap kali pengungkapan kasus kekerasan berbasis gender atau kekerasan menyasar kelompok rentan terbantu dengan adanya jurnalistik investigasi. Seperti The Jakarta Post dan Tirto bekerja sama dengan media lokal dari Papua, Tabloid Jubi, melakukan investigasi kerusuhan di Wamena (2018).

Selanjutnya ada Tirto, The Jakarta Post, Vice Indonesia, dan BBC Indonesia berkolaborasi dalam menginvestigasi kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dan menyuarakan tagar ‘nama baik kampus’ yang ikut berkontribusi terhadap pengungkapan kasus kekerasan seksual di kampus dan kebijakan seperti Permendikbudikti 30/2021 dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). (Ek)

banner 325x300 banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *