Sepenggal Catatan Kritis Tim Satgas Yang Gagal Paham Dalam Menjalankan Tugas

banner 120x600
banner 468x60

Opini

Oleh: Okta Renaldi

banner 325x300

PAPINKAPOST.ID – Eksploitasi timah di Bangka Belitung bukanlah sebuah barang baru yang hangat untuk diperbincangkan, Sumber daya timah telah memasuki babak baru yang sangat dramatis pasca kasus Mega proyek korupsi 271 T.

Bangka Belitung berada dalam salah satu fase paling kelam dalam sejarah pengelolaan sumber daya alam. Di tengah tanah yang kaya dengan kandungan mineralnya berupa biji timah telah menjadi komoditas utama dalam menghidupi generasi demi generasi. Keriuhan yang menjadi sumber mata pencaharian selama ini menjadi tumpuan hidup ribuan masyarakat telah berubah menjadi sumber kecemasan.

Keterlibatan negara dalam upaya mengamankan keberadaan asetnya terpantik dengan tegas dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sebagaimana menjelaskan bahwa Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Negara melalui intruksi Presiden RI yang diutarakan dalam pidato HUT ke-80 Republik Indonesia telah mengambil upaya pembentukan perpanjangan tangan dengan mengahadirkan Satuan Tugas (Satgas) Timah yang diklaim sebagai upaya pembenahan tata kelola dan tata niaga Timah di Provinsi Kep. Bangka Belitung, dalam pembentukan serta menjalankan tugasnya Tim Satgas haruslah merujuk pada Peraturan Presiden Republik Indonesia no 5 tahun 2025.

Status Perpres No 5 tahun 2025 yang dikemukakan oleh Presiden RI yang seharusnya mampu menjadi pedoman teknis bagi tim satgas dalm bertugas sehingga sikap tegas dalam aktualisasi dilapangan tidak menjadi pedang yang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah simbol ketegasan negara, di sisi yang berbeda, ia bisa menjadi sumber ketidakpastian baru.

Keberadaan perpres yang seharusnya bersifat hanya intruksi dan operasional semata, tidaklah menjadi penghujam yang menghantam dengan nyata ditataran masyarakat kelas bawah, mengingat kegagalpahaman tim satgas akan status perpres dalam perbaikan dan pengamanan tata kelola dan tata niaga timah tidaklah dijadikan satu alasan akan penciptaan norma baru yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam undang-undang, maka hal ini berpotensi menimbulkan masalah legitimasi dan konflik kewenangan. Asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah haruslah menjadi faktor utama bagi tim satgas bergerak, Tim satgas yang bersifat koordinatif atau ad hoc (bukanlah lembaga penegak hukum permanen) hal inilah mendorong kendala dalam pelaksanaan tugas, terutama terkait anggaran, kewenangan, dan akuntabilitas.

Dalam hierarki peraturan yang digunakan dalam sistem hukum Indonesia, kedudukan Perpres berada di bawah undang-undang. Artinya, Perpres tidak boleh bertentangan atau melampaui kewenangan yang sudah diatur dalam Undang-Undang, jika dalam hal ini tim satgas salah dalam penafsiran akan perpres no 5 tahun 2025 yang seharusnya menjadi pedoman teknis, maka upaya yudicial review sangat terbuka lebar untuk membatasi dan menghentikan keberadaan status tim satgas yang telah gagalpaham akan hal tersebut. . Belum lagi pada wilayah tertentu telah diatur dan dibagi wilayah kekuasaannya semisal penyelidikan dan penyidikan merupakan kewenangan institutsi POLRI dan KPK, penuntutan wilayahnya kejaksaan dan KPK (khusus korupsi, serta penegakan hukum (putusan) merupakan tugas Pengadilan/Hakim, MA,MK hal tersebut merupakan rantai sistem hukum yang berlaku Indonesia

Alih-alih menyelesaikan masalah dalam tata kelola dan tata niaga timah, keberadaan tim Satgas bisa menjadi simbol politik praktis yang lebih menekankan pencitraan ketimbang solusi struktural. Tanpa dasar hukum yang kuat, yang mengakibatkan hasil kerja tim Satgas berisiko tidak diakui secara sah.

Belum lagi resiko lain akan sejalan misalnya praktik monopoli dan ketidakadilan yang akan menjadi corong utama dalam memberikan GAP pada masyarakat kelas bawah dan kelas atas yang semakin melebar, keberadaan Tim Satgas yang tidak transparan akan memunculkan ruang bagi kepentingan tertentu untuk menguasai pasar timah, rakyat kecil akan tersisih sementara keuntungan besar dapat dinikmati oleh kelompok besar yang dekat dengan kekuasaan untuk melakukan praktik monopoli.

Keberadaan Tim Satgas Timah seharusnya tidak hanya menjadi “martitr” di lapangan, tetapi haruslah menjadi katalisator transformasi. Keberhasilannya tidak boleh hanya diukur dari berapa banyak barang bukti yang disita atau berapa orang yang dipenjara, melainkan dari itu keberhasilannya diukur dari seberapa jauh ia mampu mendorong terciptanya ekosistem pertambangan yang adil, berkelanjutan secara lingkungan, dan memberikan nilai tambah nyata bagi masyarakat lokal. Tanpa perbaikan sistemik pada regulasi lahan dan kemudahan izin bagi rakyat, Satgas hanya akan menjadi pemadam kebakaran yang sibuk memadamkan api tanpa pernah menghilangkan sumber pemicunya. (*)

banner 325x300 banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *