Opini
Oleh: Shinta Anugrah (Mahasiswa Fakultas Hukum UBB)
PAPINKAPOST.ID – Surga terakhir di bumi, Raja Ampat, yang selama ini dikenal sebagai mahakarya keanekaragaman hayati dan ikon pariwisata bahari dunia, kini tengah berada di ambang kehancuran. Di balik keindahan laut sebening kristal dan terumbu karang yang memukau, tersimpan luka mendalam akibat ekspansi tambang nikel yang masif dan tak terkendali. Hutan-hutan ditebang, laut tercemar lumpur limbah pertambangan, dan habitat biota laut langka mulai tergerus, sementara sedimentasi menutup karang dan menghancurkan ekosistem bawah laut secara perlahan namun pasti.
Dengan dalih “transisi energi”, pemerintahan dari rezim Jokowi hingga rezim Prabowo-Gibran gencar mendorong hilirisasi tambang nikel yang mengubah Raja Ampat dari jantung konservasi dunia menjadi ladang investasi pertambangan. Aktivitas ini bukan hanya merusak lingkungan secara legal melalui izin usaha pertambangan, tetapi juga mengancam kehidupan sosial ekonomi budaya masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada alam seperti petani, nelayan, dan pemandu wisata yang perlahan kehilangan mata pencaharian dan identitasnya.
Raja Ampat, yang menjadi rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan ribuan spesies ikan, kini menghadapi dilema global: mempertahankan surga biodiversitas terakhir atau menyerah pada keserakahan industri pertambangan dengan dalih transisi energi yang merampas kelestarian alam dan keadilan sosial. Jika tidak segera dihentikan, tambang nikel akan mengubah surga ini menjadi kisah pilu tentang perampasan dan kehancuran yang sulit diperbaiki.
Salah satu bukti tragis wilayah yang telah terdampak besar oleh Proyek Strategis Nasional (PSN), adalah
Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Di sana, perusahaan seperti PT Weda Bay Nickel (WBN) melakukan penambangan skala besar yang menyebabkan kerusakan ekologis dan penderitaan masyarakat lokal.
Apa yang terjadi di Halmahera bisa jadi bayangan masa depan Raja Ampat jika kita diam.
Fakta Buruk dari hilirisasi Nikel di Halmahera:
* 47% Warga terdeteksi memiliki kadar merkuri dalam darah. Racun ini berasal dari limbah industri yang mencemari lingkungan.
* 32% Warga mengkonsumsi pencemaran arsenik melebihi batas aman. Logam berat beracun ini dapat menyebabkan kerusakan organ dan kanker.
* Ikan konsumsi harian masyarakat mengandung logam berat.
Padahal laut adalah sumber pangan utama mereka.
* Perairan tradisional dijadikan tempat pembuangan limbah. Nelayan kehilangan mata pencaharian. Tradisi hidup laut hilang.
* Deforestasi dan beban sosial meningkat. Hutan dibabat. Ekosistem rusak. Konflik lahan dan sosial tak terhindarkan.
Hal ini sangat bergantung dengan prinsip Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 sebagai bentuk perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 yang mengatur perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. UU ini menekankan pengelolaan terpadu yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau kecil secara berkelanjutan.
Dalam hal ini seharusnya pemerintah daerah meningkatkan pengawasan dan memberikan sanksi administratif berupa pidana berat bagi pelanggaran lingkungan, serta melindungi hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan berkeadilan.
Krisis lingkungan disini bukan hanya sekedar bencana alam. Hal ini merupakan hasil dari kinerja pemerintah daerah yang mengabaikan unsur keadilan masyarakat lokal demi memenuhi kepentingan pemilik modal.
Laut dieksploitasi, air dicemari, pergeseran sumber pangan lokal, dan perampasan mata pencaharian masyarakat daerah, yang dikorbankan pada hari ini adalah petani, nelayan, pemandu wisata nelayan, dan perempuan penjaga bumi.
Kita tidak bisa diam ketika tanah leluhur dirampas, laut dieksploitasi, dan generasi masa depan diancam. Atas nama transisi energi, rakyat kecil dikorbankan.
Saatnya Bersuara, Saatnya Bertindak!
#SaveRajaAmpat #StopTambangNikel


















